Gibran Rakabuming Raka bukan hanya dikenal sebagai putra sulung Presiden Joko Widodo, tetapi juga sebagai figur politik muda yang tampil dengan pendekatan yang sangat berbeda. Dalam dunia politik yang cenderung formal, Gibran memilih jalur yang lebih akrab bagi generasi muda: TikTok, meme, hingga gaya bicara khas Gen Z.
Apakah ini hanya strategi pencitraan, atau justru bentuk komunikasi politik baru yang lebih relevan di era digital?
Gibran termasuk figur politik Indonesia pertama yang secara aktif dan konsisten menggunakan meme dan platform seperti TikTok untuk berinteraksi dengan masyarakat. Tidak sekadar hadir, Gibran kerap:
Menggunakan meme sindiran ringan yang menyentil isu aktual
Menanggapi komentar netizen dengan balasan santai ala Gen Z
Menunjukkan self-deprecating humor – tidak ragu menjadi bahan lelucon
Langkah ini membuat Gibran terlihat lebih dekat, lebih manusiawi, dan tidak kaku seperti politisi konvensional. Bagi Gen Z dan milenial, gaya ini
Beberapa pengamat politik menilai gaya komunikasi Gibran sebagai strategi "personal branding politik" yang sengaja dibentuk untuk menarget segmen pemilih muda. Namun, banyak juga yang melihat bahwa gaya tersebut adalah kelanjutan dari citra keluarga Jokowi: sederhana, santai, dan tidak terlalu protokoler.
Beberapa contoh nyata:
Gibran sering menyelipkan kata-kata seperti “gaspol”, “santuy”, “auto”, dan “ngeyel” dalam pernyataan resmi.
Di TikTok, banyak video dirinya yang masuk FYP bukan karena kampanye, tapi karena gaya komunikasinya yang nyeleneh dan lucu.
Salah satu kekuatan Gibran adalah interaktif, bukan hanya komunikatif. Ia tidak hanya bicara, tapi juga merespons:
Komentar netizen sering ia jawab sendiri di media sosial
Kritik tidak langsung dibantah, tapi sering dibalas dengan candaan
Beberapa kali, netizen yang mengkritik bahkan dibalas dengan “makasih sarannya”
Ini bukan sekadar gimmick. Ini mencerminkan gaya komunikasi dua arah yang selama ini jarang dimiliki oleh politisi senior. Di mata pemilih muda, ini
Tentu saja, gaya politik seperti ini tidak lepas dari kritik:
Sebagian kalangan menilai pendekatan ini terlalu “receh” untuk seorang wakil presiden
Beberapa akademisi mempertanyakan apakah komunikasi gaya Gen Z cukup untuk menunjukkan kapabilitas kepemimpinan
Gibran dianggap terlalu fokus pada pencitraan digital daripada substansi kebijakan
Namun, Gibran sendiri menanggapi dengan santai:
“Ya nggak apa-apa dibilang bocil, asal bisa kerja dan buktiin hasil.”
Dalam lanskap politik yang makin digital dan penuh disrupsi, cara Gibran berkomunikasi bisa jadi bukan pengecualian, melainkan permulaan dari tren baru. Di masa depan, mungkin semakin banyak politisi yang akan menggabungkan substansi dengan gaya komunikasi santai dan digital-native.
Gibran belum sempurna. Tapi satu hal jelas: ia paham bahwa untuk menjangkau pemilih muda, pendekatan lama tidak lagi cukup.