Nama Gibran Rakabuming Raka sudah lama menjadi perbincangan publik, terlebih sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Surakarta dan kini menjadi Wakil Presiden termuda dalam sejarah Indonesia. Namun di balik sorotan kamera dan nama besar sang ayah, ada tantangan serius yang harus dihadapi Gibran sebagai sosok muda di dunia politik yang penuh dinamika.
Bukan Cuma 'Anak Jokowi'
Label “anak presiden” bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memperoleh eksposur yang luas dan koneksi politik yang kuat. Di sisi lain, tak sedikit yang meragukan kapasitasnya, menganggapnya hanya 'beruntung' karena lahir dari keluarga politikus. Artikel ini tidak akan menilai Gibran secara hitam-putih, namun mencoba menggali bagaimana ia merespons tantangan itu.
Sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gibran menunjukkan gaya kepemimpinan yang cukup berbeda dari ayahnya. Ia lebih blak-blakan di media sosial, cepat merespons isu, dan mencoba mengadopsi pendekatan modern yang dekat dengan generasi muda. Hal ini terlihat saat ia mempromosikan UMKM lokal lewat digitalisasi dan e-commerce.
Politik di Era Media Sosial
Sebagai generasi milenial, Gibran harus menghadapi bentuk politik yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Isu viral, cancel culture, dan opini publik yang terbentuk di TikTok atau Instagram menjadi arena baru yang harus ia pahami dan kuasai. Bukan hanya soal pidato dan kebijakan, tapi bagaimana pesan politik disampaikan dalam bentuk konten yang mudah dicerna.
Kekuatan narasi digital ini bisa menjadi keunggulan sekaligus jebakan. Satu pernyataan yang keliru bisa viral dan berdampak panjang. Tapi Gibran tampaknya cukup adaptif. Ia memanfaatkan momentum debat Pilpres untuk tampil lugas, sekaligus menciptakan meme politik yang membuatnya semakin dikenal oleh generasi Z.
Harapan Publik Terhadap Pemimpin Muda
Menjadi muda di politik bukan berarti otomatis diterima. Gibran dituntut untuk tidak hanya 'muda', tapi juga matang dalam keputusan. Publik berharap ia membawa perspektif baru, inovasi, dan tidak hanya menjadi simbol estafet kekuasaan. Dalam posisi sebagai Wakil Presiden, perannya akan diuji lebih jauh: apakah ia sekadar pelengkap simbolis, atau benar-benar bisa membawa gagasan baru?
Menjembatani Tradisi dan Inovasi
Salah satu kekuatan potensial Gibran adalah kemampuannya menjembatani dua dunia: tradisi politik lama yang sarat hierarki dan dunia baru yang lebih cair serta digital. Ia bisa bicara dengan pelaku usaha konvensional maupun startup founder. Bisa tampil di forum resmi pemerintahan, maupun jadi bahan pembicaraan di ruang-ruang diskusi online.
Jika ia mampu menjaga konsistensi, membangun tim yang solid, serta tetap terbuka terhadap kritik, Gibran bisa membentuk identitas politiknya sendiri—bukan sekadar bayang-bayang ayahnya.
Kesimpulan
Gibran Rakabuming adalah wajah dari perubahan generasi di politik Indonesia. Ia masih jauh dari sempurna, dan kritik terhadapnya tidak boleh dikesampingkan. Namun di saat yang sama, ia mencerminkan harapan akan munculnya pemimpin muda yang bisa mengimbangi tantangan zaman. Apakah ia akan berhasil? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Yang pasti, publik akan terus mengawasi—dan itu adalah bagian penting dari demokrasi.